Setiap tahun umat islam di Indonesia dihadapkan dengan permasalahan yang unik seputar perbedaan
penetapan awal Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Terkadang bisa terjadi keseragaman, meski bisa dikatakan sekedar ‘ketidaksengajaan’ karena posisi hilal yang memang meyakinkan untuk dilihat atau untuk tidak dilihat, bukan karena sudah ada kompromi dari waktu ke waktu. Sebenarnya perbedaan yang ada ‘hanyalah’ perbedaan fiqhiyah semata. Artinya sudah sejak lama menjadi pembahasan dan perbedaan para ulama. Tapi yang menjadi sangat disayangkan, hal ini kemudian membesar menjadi masalah sosial kemasyarakatan. Pada hari yang semestinya kita berbahagia, ada saja yang menjadikannya ajang untuk mencerca dan menggelindingkan bola perpecahan di tengah umat. Bukan itu saja, pernah kejadian seorang istri yang ‘terprovokasi’ tempatnya mengaji di sebuah majelis taklim, sampai-sampai memilih lebaran yang berbeda dengan suaminya sendiri di rumah !. Belum lagi kisah yang sama berulang, antara seorang anak dengan ayahnya, antar tetangga, antar keluarga besar dan mungkin dalam skala yang lebih besar dari itu.

Melihat hal tersebut, terkadang ada lontaran-lontaran ‘nakal’ yang sering saya sampaikan ketika mengisi pengajian menjelang Ramadhan dan Iedul Fitri. Saya katakan dengan polos : “ bagaimana mungkin kita bisa kompak berjuang dan menderita bersama-sama, sementara untuk berlebaran dan bergembira dengan kompak saja tidak bisa ? “. Mohon maaf, secara pribadi hal ini sangat mengusik saya, karena selama lima tahun saya menempuh ilmu di Sudan, perbedaan penetapan awal dan akhir Ramadhan hanya saya temukan di kitab-kitab fiqh saja, tapi tidak di dunia nyata !. Kaum muslimin di Sudan –termasuk para ulamanya-, kompak menyerahkan masalah penetapan ini pada pemerintahan yang ada. Lagi-lagi saya sering berkomentar : “ Apa di Indonesia terlalu banyak orang pandai yah ? sehingga semua bisa menetapkan sendiri-sendiri ? sementara di Sudan tidak ada orang pandai ya ? sehingga manut-manut saja pada pemerintah dalam soal ini ? “. Dalam hati saya sempat bersu’udzhon dengan orang-orang pinter yang ada di Indonesia, mengapa tidak mau melapangkan dada untuk agenda syiar ukhuwah dan kesatuan umat. Sungguh kita semua tidak berharap bahwa agenda ukhuwah dan syiar ini harus dipertaruhkan setiap tahunnya, hanya karena label dan identitas organisasi ? Astaghfirullah … semoga saya tidak berlebihan dalam suudzhon.

Mohon maaf saya tidak mengajak Anda untuk pesimis, tapi justru sebaliknya. Mari memahami dan melihat lebih mendalam permasalahan yang ada. Saya yakin sepenuhnya bahwa setiap kita merindukan lebaran yang meriah, syiar, dan menyatukan ukhuwah seluruh umat dan bangsa. Berbagai langkah pun sudah berkali-kali dicoba dan diterapkan. Menjadi penting bagi kita untuk ‘melirik’ sejenak kondisi sesungguhnya dan realitas yang tengah berjalan seputar permasalahan penetapan awal dan akhir ramadhan.

Beberapa Langkah yang pernah dilakukan, misalnya ; Tahun 1990-an pernah diusulkan kriteria MABIMS menjadi acuan bersama kriteria penentuan kalender Islam di Indonesia dan juga di Brunei Darussalam, Malaysia, dan Singapura. Kriteria itu menyatakan awal bulan ditentukan bila tinggi bulan lebih dari 2 derajat, jarak sudut bulan-matahari lebih 3 derajat, dan umur bulan sejak ijtimak (bulan dan matahari segaris bujur) lebih dari 8 jam. Beberapa ormas Islam menerima kriteria tersebut, tetapi ada juga yang tidak menerimanya.
Ormas Islam dan Penetapan Awal Akhir Ramadhan
Organisasi Islam terbesar di Indonesia Nadhatul Ulama dikenal dengan metode Rukyatul Hilalnya, akan tetapi sesungguhnya sejak lama pesantren-pesantren NU telah mempelajari ilmu falak dan hisab untuk mengawal metode rukyatul hilal tersebut. Lajnah Falakiyah Tanfidz NU sangat teliti dan profesional dalam meneliti posisi hilal dari waktu ke waktu. Saya secara pribadi sempat sedikit ‘berguru’kitab Riyadhus Sholihin. secara tidak langsung pada ketua Lajnah-nya KH. Ghozali Masrurie –hafidzhohullah-, dan saya sangat kagum dengan ketelitian dan ketegasan sikap beliau dalam banyak hal, termasuk masalah penetapan awal dan akhir Ramadhan. Pada perkembangan terkini NU menggunakan kriteria tinggi bulan minimal 2 derajat. Kriteria ini mengacu pada imkanur rukyah (kemungkinan hilal bisa dilihat)

Muhammadiyah dikenal dengan metode hisab atau perhitungannya menggunakan kriteria wujudul hilal. Kriteria wujudul hilal menyatakan awal bulan ditentukan bila bulan telah wujud di atas ufuk atau tinggi bulan positif yang ditandai dengan bulan terbenam setelah matahari terbenam. Artinya ketinggian 0.2 derajat dalam kriteria Muhammadiyah sudah dianggap hilal awal bulan. Selain itu Muhammadiyah juga menggunakan prinsip wilayatul hukmi pada kriteria wujudul hilal, yaitu bila hilal telah wujud di sebagian wilayah Indonesia maka hal itu dianggap berlaku di seluruh wilayah hukum Indonesia.

Sementara itu PP Persatuan Islam (Persis) juga menganut metode hisab (perhitungan astronomi) dengan menggunakan kriteria wujudul hilal untuk seluruh wilayah Indonesia. Beberapa organisasi lainnya seperti HTI dan MMI tetap konsisten menggunakan metode rukyah global dengan mengikuti hasil rukyah di negara arab Saudi. Pada sisi ini mereka konsisten dengan pendapat jumhur seputar penetapan awal dan akhir Ramadhan. Dewan Syariah Partai Keadilan Sejahtera sebelum tahun 2006 juga melakukan penghitungan dan rukyah secara mandiri untuk menetapkan awal dan akhir Ramadhan, begitu juga Idul Adha. Tetapi belakangan mereka merasa lebih nyaman untuk menyerahkan urusan ini sepenuhnya pada ulil amri dalam hal ini pemerintah. Keberagaman yang ada dalam hal ini sesungguhnya wajar jika diikuti dengan pemahaman dan kesiapan dalam menghadapinya. Khususnya ditingkat yang paling bawah seperti antar warga masyarakat.

Bagaimana Peran Pemerintah ?
Departemen Agama membentuk Badan Hisab dan Rukyah yang menggabungkan dua metode dengan rukyah sebagai acuan itsbatnya. Setiap tahun khususnya jelang Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha , diadakan sidang itsbat yang melibatkan perwakilan seluruh ormas islam besar di Indonesia. Bukan hanya itu, juga dibicarakan langkah-langkah komunikasi dalam upaya penyatuan dan penyeragaman metode dalam penetapan awal dan akhir Ramadhan. Upaya mutakhir adalah lahirnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 2/2004 tentang wajibnya ummat Islam mengikuti keputusan pemerintah dalam hal penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Tentu saja ini adalah kemajuan yang baik dalam upaya mulia ini. Pekerjaan Rumah yang tersisa adalah memahamkan masyarakat yang terlanjur terbiasa berbeda, agar menyadari urgensi penyatuan, untuk terciptanya syiar Islam dan ukhuwah yang lebih besar lagi.
“ Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati “ (QS Al-Hajj : 32)

Untuk lebih dalam seputar permasalahan hisab rukyat dari sisi bahasan objektif fikihnya, anda bisa dapatkan dalam materi power point berikut ini. Semoga bermanfaat dan salam optimis.

sumber: http://www.indonesiaoptimis.com/2010/07/permasalahan-hisab-rukyat-plus.html